~** kearifan CINTA **~



Kearifan cinta akan hadir;
Saat dicintai tidak membuat seseorang sombong dan berbangga diri,
lupa akan kekurangan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.
Saat tidak dicintai tidak membuat seseorang frustasi,
lalu tidak bisa melihat kelebihan dan potensi dirinya lagi.
Saat cinta merasuk dalam diri,
Seseorang tetap mampu mengendalikan cintanya, mampu menjauhkan diri dari dosa dan kemaksiatan.
Saat cinta berbenturan dengan kepentingan orang tua,
Seseorang tetap mampu mengompromikan dan menghormati orang tuanya,
Saat cinta terbelit permasalahan dengan orang lain,
Seseorang tetap mampu menghormati orang yang bermasalah.

Cinta itu resah, tetapi membahagiakan. Kearifan cinta akan kita dapatkan bila kita memiliki niat baik untuk sebuah cinta. Terkadang manusia terlalu egois untuk mengakui sebuah rasa cinta. Entah karena takut tidak terbalas cintanya atau karena memandang diri terlalu tinggi atau terlalu rendah. Lakukan cinta untuk cinta itu sendiri. Tidak usah resah untuk cinta yang tidak terbalas, tetapi resahkanlah bila di hati kita tidak ada rasa cinta. Bagaimanapun, dicintai dan mencintai adalah kebutuhan psikis manusia yang harus dipenuhi. Namun, ada hal yang lebih penting, yaitu kearifan. Dibalasnya cinta tidak harus menjadi tujuan, tetapi jadikanlah cinta sebagai jalan untuk mendewasakan diri kita, jalan untuk melatih kearifan diri.

Cinta bukan ambisi untuk sebuah kebanggaan. Cinta akan tampak kasar bila sudah dibumbui dengan ambisi, keegoisan, dan kabanggaan. Sebaliknya, cinta akan nampak lembut bila dihadirkan untuk meraih kebahagiaan, bukan untuk mengejar kebanggaan karena cinta sejati akan membuat seseorang lebih peka dengan perasaan orang yang dikasihinya.

Memang sangat tipis perbedaan antara kebahagiaan dan kebanggaan, bagai dua sisi mata uang. Kebanggaan kadang cenderung mengarah pada keinginan untuk ditampakkan di hadapan orang lain, tetapi kebahagiaan hanya bisa dirasakan di hati (orang lain tidak selamanya harus tahu). Maka dari itu, berhati-hatilah memainkan keduanya. Alih-alih ingin mengejar kebanggaan ternyata harus mengorbankan kebahagiaan.

Dalam soal cinta, harga diri seseorang bukan diukur dari dicintai atau tidak dirinya, bukan diukur oleh seberapa banyak orang yang mencintai, mengagumi, dan mengidolakannya, tetapi dari bagaimana dia dapat memperlakukan cinta secara arif. Pada akhirnya, Allah-lah penilai kemuliaan diri seseorang. Seseorang yang dikagumi dan dicintai banyak orang belum tentu mulia di hadapan Allah bila cara yang ditempuh keluar dari rel syariat. Sebaliknya, seseorang yang mungkin hina di hadapan manusia, bisa jadi begitu mulia di hadapan Allah. Wallahu’alam.

Seorang perempuan, dengan kecantikan, kepintaran, kemanjaan dan rayuannya mungkin bisa menaklukkan banyak pria. Begitupun seorang pria, dengan ketampanan, otak yang brilian, keperkasaan, kekayaan dan rayuannya, mungkin dapat menaklukkan banyak wanita. Akan tetapi, bila kita mau menelusuri sisi hati orang-orang yang tertaklukkan, semakin banyak yang berhasil ditaklukkan berarti banyak pula hati yang kecewa karena toh pada akhirnya hanya satu yang harus dipilihnya. Lalu, tegakah melukai sisi hati yang tersiksa? Di situlah kearifan seorang pecinta dituntut realisasinya.

Kelebihan dan potensi diri tersebut tentu bukan untuk ditampakkan di hadapan semua orang dengan kesombongan. Seorang yang arif akan mampu meleburkan diri dengan kelebihan dan kekurangannya secara adil, yaitu hanya di hadapan orang-orang yang memang layak mendapatkan kelebihan dirinya (pasangan hidupnya). Maka tumbuh suburkanlah cinta untuk sesama karena inilah jalan untuk dapat berbuat sesuatu bagi banyak orang dan jalan untuk mengikis egoisme pribadi. Namun, kendalikan cinta terhadap lawan jenis (cinta biologis) dan takutlah pada cinta yang menjerumuskan.

Dalam kegelisahan cinta, berdoalah, “Ya Allah, bahagiakan orang-orang yang pernah mencintaiku meskipun aku tidak pernah bisa mencintainya. Jangan siksa dia dengan perasaan cintanya. Bahagiakan pula orang-orang yang pernah aku cintai meskipun dia tidak pernah mencintaiku karena bagaimanapun dia telah mengenalkanku akan arti menjadi dewasa. Bahagiakan pula orang yang aku cintai dan mencintaiku. Satukan kami dalam rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah.” ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar