Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

MARI TERBITKAN SURGA DI BERANDA RUMAH KITA ,DINDA .....

(oleh Fachrian Almer Akiera As-Samawiy untuk Grup Sandiwara Langit)


“kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?”


*****

>>Saat itu. . .


Aku sudah mengenalmu karena memang engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di wajahmu.


>>Aku dan Keputusanku…

Engkau adalah wanita sederhana. Iya, wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja. Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan. Kupilih engkau menjadi permaisuriku.

>>Sejenak Tentangmu…

Engkau, dinda, bukanlah keturunan orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini. Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam waktu dekat.


Engkau, dinda, saat itu baru lulus SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah. Alhamdulillah.

>>Percikan Bahagia di Hari Pernikahan…

Dan hari itu pun kita menikah. Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.

Adakah jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?

Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?

Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?

Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.

 
>>Aku Begitu Kagum. . .

Semua terasa mudah dan indah, dinda. Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.

Dinda tersayang.

Semenjak menikah hingga saat ini, kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.

>>Tetesan Air Mata di Kasur Cinta..


Masih teringatkah olehmu, dinda, saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.

Seonggok pakaian kita yang masih tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala istriku terkasih.

 
Sambil menyungging senyum manismu, engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku mencintaimu, dinda.


>>Saatnya Engkau Melahirkan..

Bersamamu, wahai permaisuri hatiku, tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan syahdu terlalui hari-hari,dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.


Masih ingatkah ketika usia pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.

Jam 12 malam, saat manusia tengah asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh mesra.


>>Segelas Air Putih..

Aku melihat wajahmu melemas. Engkau begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:
 

“abii…, aku lapeer.”

Tersentak aku mendengarnya, dinda. Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam segini semua toko dan warung sudah tutup.

Alhamdulillah, ada segelas air putih yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya, dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu. Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.

Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?



Yah, bayi yang menjadi permata hati kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.

>>Engkaulah Penyejuk Hati..

Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih dari cukup.

Sungguh, dinda. Aku amat bahagia mengenalmu sosokmu. Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata sekaligus belahan jiwa yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu. Engkaulah sebenarnya perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani hari-hariku hingga kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.
***
___________

Catatan Editor:

Sejatinya, ini adalah kisah nyata yang tertera dalam buku “Bila Pernikahan Tak Seindah Impian”, penerbit Mumtaza, Solo, 2007, hal 118-122. Kepada penulis buku tersebut yaitu saudara Muhammad Albani (hafidzahullah), kami telah meminta ijin untuk menuturkan dan mengisahkan kembali sekaligus mendaur ulang bahasanya dengan tidak merubah alur kisah.

Kepada sepasang merpati dalam tulisan, semoga jalinan cinta yang terajut dalam kehalalan tersebut tetap terjaga hingga berjumpa dengan wajah Allah di surga, kelak.

Kepada para wanita, selalu kami titipkan nasehat agar merias diri dengan akhlak yang mulia dan membalutkan diri dengan ilmu syar’i. Ketahuilah wahai saudari-saudari kami bahwa salah satu dosa anda sebagai makhluk hawa, seperti yang disebutkan para ulama, adalah keengganan anda untuk menuntut ilmu dien ini. Jadikanlah wanita dalam kisah diatas sebagai salah satu ibrah untuk menapaki jenjang pernikahan. Terakhir, jadilah kalian wanita yang penuh kesahajaan dan selalu merasa cukup dalam dunia. Semoga Allah ‘azzawajalla mudahkan kalian memasuki surga-Nya.


Kepada sauadara-saudara kami, semoga kisah diatas menjadi salah satu percikan-percikan yang akan menerangi jenjang-jenjang kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah tabaraka wata’ala mengistiqamahkan kita di atas sunnah dan manhaj yang ditempuh para pendahulu sehingga kita mampu menjadi pribadi yang shahih berilmu nan mulia berakhlak. Kami rasakan fitnah-fitnah di akhir zaman begitu dahsyat menghantam karang keimanan.

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla illa ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.
Salam persaudaraan penuh kehangatan ukhuwah,


Fachrian Almer Akiera

Mataram, Kota Ibadah, menjelang isya’ di hari Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1431 H. 

ayat ayat CINTA




Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka. Dokter mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk memulihkan kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani serius. Ada gejala paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar kelas satu bersebelahan dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia banyak yang menjenguk, meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester ganjil Al Azhar. Sementara musim dingin semakin menggigit.
Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian di pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah yang naik drastis. Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu tidak pecah. Kalau pecah maka nyawanya bisa melayang.
Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak kalah kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia bahkan sering tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap Maria seperti adiknya sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan menemani Aisha menunggui Maria.
Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia terkejut mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh masya Allah, Subhanallah! Ya..ya…baik. Kalau begitu kau naik metro saja turun di Maadi. Aku jemput di dekat loket tiket sebelah barat. Okey? Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”

Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,
“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin menemuimu. Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah Maadi.”
Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.

PadaMu
Kutitipkan secuil asa
Kau berikan selaksa bahagia
PadaMu
Kuharapkan setetes embun cinta
Kau limpahkan samudera cinta

Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia belum juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan hembusan nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup. Sungguh aku tak tega melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya. Seringkali ada lelehan air mata di sudut matanya. Entah apa yang dialaminya di alam tak sadarnya.”
Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”
“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan kepalanya lalu beranjak keluar.
Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat kontras dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro dulu. Dulu pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai jilbab, pakaiannya sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh berbeda dengan Aisha.
“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu.

“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak besar. Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku terkejut membaca tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.
“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre di New York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul Adhim direktur penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh Ahmad untuk tranfer honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku itu sedang dicetak lagi karena satu bulan diluncurkan langsung habis.” Cerita yang dibawa Alicia benar-benar menghapus semua duka yang pernah kurasa. Sangat mudah bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.

“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.
“Ingin.”
“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”
Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam keadaan seperti itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama dua buku yang diberikan Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah buku kecil. Tebalnya cuma 65 halaman. Namaku terpampang sebagai pengarangnya. Aku jadi malu pada diri sendiri, aku hanya menulis ulang dan merapikan pelbagai macam bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan dalam Islam. Bukan menulis suatu yang baru. Di dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown dan Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku secara singkat. Lalu buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis Prof Dr. Abdul Wadud Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah. Editornya sama.

Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.
“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian. Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul Adhim, kau akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic Centre di Amerika sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis. Tiket, surat undangan dan jadwal kegiatannya ada di hotel, tidak terbawa,” kata Alicia.

“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.
“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”
“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”
“Semoga.”
Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan hari untuk menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk mempermudah mengurusi visa masuk ke Amerika.
“Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita alami,” kata Aisha setelah Alicia pergi.

* * *
Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya. Aisha melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan kamar kelas satu berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah. Berarti di luar sana udara benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8 derajat. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa dinginnya kutub utara yang puluhan derajat di bawah nol. Suasana malam senyap dan beku.
“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah melihat orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.
Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada siapa- siapa di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang pulas di sofa tak jauh dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu kelihatannya kelelahan. Kami melangkah pelan mendekati Maria. Dan aku mengenal apa yang diigaukan oleh Maria. Aku pasang telinga lekat-lekat dan memperhatikan dengan seksama. Subhanallah, Maha Suci Allah! Yang terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu. Aku tak kuat menahan haru.
“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bagaimana bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.
“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal yang belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.

Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan lancar. Tak ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar. Maria melantunkan ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah melahirkan nabi Isa. Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah menurunkan mukjizat-Nya, Isa yang masih bayi bisa berbicara.
Fa atat bihi qaumaha tahmiluh,
qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian fariyya.
Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin wa maa kaanat ummuki baghiyya.
Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi shabiyya.
Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya.
Wa ja’alani mubaarakan ainama kuntu
wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.

(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.
Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.
Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara pada anak kecil yang masih dalam ayunan?’
Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan dia menjadikan aku seorang nabi.
Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat selama aku hidup)115

115 QS. Maryam: 27-31.
Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam alam bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan meneteskan air mata. Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat dalam memorinya. Dan itu adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa yang dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes. Cahaya keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin benderang. Bibir Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa sebenarnya yang menggerakkan bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia sampai pada akhir surat Maryam. Namun bibirnya tidak juga berhenti bergetar, terus melanjutkan surat setelahnya. Surat Thaaha. Subhanallah!
Thaaha.
Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa
Illa tadzkiratan liman yakhsya

(Thaaha.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
agar kamu jadi susah
Tetapi sebagai tadzkirah
bagi orang yang takut kepada Allah)116

Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah dihafal Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia mengatakan hanya hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia membaca surat Thaaha. Aku benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak rahasia dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti keyakinan dalam hatinya. Dengan air mata terus mengalir di sudut matanya yang terpejam ia melantunkan ayat-ayat suci itu seperti sedang asyik bernyanyi dalam mimpi. Malam yang dingin terasa hangat oleh aura getar bibir Maria. Ia mengajak pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi Musa melawan Fir’aun. Ia terus bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan lagu surga.
Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa
wasia kulla syai in ilma
Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq
wa qad aatainaaka min ladunna dzikra

(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tiada tuhan selain Dia, pengetahuannya meliputi segala sesuatu.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu sebagian kisah umat yang telah lalu,
dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan)117

116 QS. Thaaha: 1-3.
117 QS. Thaaha: 98-99

Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya semakin deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku hanya bisa ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat tangannya. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya bergerak dan mendendangkan zikir dengan nada aneh:
Allah. Allah. Allah.
Aku ingin Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku rindu Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku cinta Allah.
Allah. Allah. Allah
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah. Allah. Allah.
CahayaMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
SenyumMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
BelaianMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CiumanMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CintaMu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah. Surgamu
Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Allah. Allah.Allah.
Allah.
Allah.
Allah.

Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Perlahan ia mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir matanya tampak mulai terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka. Subhanallah!
“Maria!” sapaku pelan.
“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.
“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”
“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”
“Kenapa sedih?”
“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”
Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan mati? Tanyaku dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak baik itu. Tapi kenapa dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.

“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!” ulangnya.
“Kenapa?”
“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup bagiku. Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”
“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”
“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat istana megah hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah melihat bangunan istana yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada pernah terpikir dalam benak manusia. Luar biasa indahnya. Ia memiliki banyak pintu. Dari jarak sangat jauh aku telah mencium wanginya. Aku melihat banyak sekali manusia berpakaian indah satu persatu masuk ke dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada terbayangkan indahnya. Kepada mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa indahnya ini apa?” Mereka menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu yang terbuka itu aku bisa sedikit melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat menakjubkan. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang mampu melukiskan. Aku sangat tertarik maka aku ikut barisan orang-orang yang satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki mau melangkah masuk seorang penjaga dengan senyum yang menawan berkata padaku, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu khusus untuk orang-orang yang berpuasa.118 Anda tidak termasuk golongan mereka!”

118 Imam Syamsuddin Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam kitabnya At Tadzkirah banyak menjelaskan tentang deskripsi surga sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits-hadits nabi, termasuk jumlah pintu surga dan nama-namanya.
Aku sangat kecewa. Aku lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang juga sedang penuh dimasuki anak manusia berpakaian indah. Aku mau ikut masuk. Seorang penjaga yang ramah berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini Babush Shalat. Pintu khusus untuk orang-orang shalat. Dan Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat sedih. Hatiku kecewa luar biasa. Aku melihat di kejauhan masih ada pintu. Aku berjalan ke sana dengan harapan bisa masuk lewat pintu itu. Namun ketika hendak masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus untuk orang-orang yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku hendak masuk selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir namanya Babut Taubah. Aku juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus untuk orang-orang yang taubatnya diterima Allah. Dan aku tidak termasuk mereka. Aku kembali ke pintu-pintu sebelumnya. Semuanya tertutup rapat. Orang-orang sudah masuk semua. Hanya aku sendirian di luar. Aku menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak ada yang membuka. Aku hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni surga kau tidak perlu mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah pintu-pintu itu dengan kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadi- jadinya. Aku tidak memiliki kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang lain dengan air mata menetes di sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu di depan Babur Rahmah. Aku mengharu biru pada Tuhan. Aku ingin menarik belas kasihNya dengan membaca ayat-ayat sucinya. Yang kuhafal adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan. Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karena Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata,
“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa maumu?”

“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”
“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya?”

“Apa itu kuncinya?”
“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”

“Aku tidak mengikuti ajarannya.”
“Itulah salahmu.”
“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.”
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah berilah aku kunci itu. Aku tidak mau merugi selama-lamanya.” Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah. Akhirnya hati Bunda Maryam luluh. Dia duduk dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang,
“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kunci masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia suka!’ 119

119 Hadits riwayat Imam Muslim.
Jika kau ingin masuk surga lakukanlah apa yang diajarkan olah Nabi pilihan Allah itu. Dia nabi yang tidak pernah bohong, dia nabi yang semua ucapannya benar. Itulah kunci surga! Dan ingat Maria, kau harus melakukannya dengan penuh keimanan dalam hati, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa keimanan itu, yang kau lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan cepat kembali kemari, aku akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama. Aku akan membawamu ke surga Firdaus!”
Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air. Aku terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati sedih. Aku ingin masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana, Bunda Maryam menungguku di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang aku alami. Oh Fahri suamiku, maukah kau menolongku?”

“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”
“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu aku berwudhu sekarang juga!”
Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong Maria yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang infus. Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku dengan sorot mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasahnya. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia berkata:

Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!

Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan matanya meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup rapat. Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan jantungnya telah berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Aisha juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan bibir bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:
“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya.”
Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii

(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.)120

120 QS. Al-Fajr: 27-30
Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”
Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya.
O, apakah di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya? Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?

Selesai, Rabu 8 Oktober 2003
Pukul 01: 03 dini hari. Bangetayu Wetan, Semarang
Habiburrahman Saerozi

~** Derita SANG pECinTA **~





Mencintai wanita adalah awal dari sebuah derita, benarkah? Bukan wanita yang membuat derita, melainkan mencintai wanita yang tidak mencintai mullah yang akan menciptakan derita bagimu.
(Muhammad Idris Asy Syafi ’i)


Dia tidak begitu cantik, tapi entah mengapa hati ini selalu ingat kepadanya. Terasa sulit bagi diri ini untuk melupakan tutur kata dan wajahnya. Terasa hampa andai sehari tidak berjumpa. Mungkin, inilah yang dinamakan cinta. Hati selalu rindu, tergetar ketika mendengar namanya, bahkan ada perasaan indah saat mendengar daerah tempat tinggalnya.


Namun, aku sendiri bingung jika ditanya, “karena apa kamu mencintainya?”


Tidak karena apa-apa, tidak karena wajah (ada banyak wanita yang lebih cantik), tidak karena kecerdasan (ada banyak wanita yang lebih cerdas, walau jujur saja dia memang cerdas), tidak karena kekayaan, tidak karena keimanan (dia biasabiasa saja dalam menjalankan kewajiban kepada Tuhannya, sebagaimana yang lain). Entahlah, tetapi yang jelas dia adalah teman sekantorku. Mungkin, intensitas pertemuanlah yang menjadikan benih-benih cinta bersemai dalam hati sanubariku.


Hari-hari ketika ada dia menjadi hari-hari yang menyenangkan. Kantor jadi tempat terindah. Betaaaah sekali ada di sana. Semangat kerja berlipat-lipat. Bunga-bunga nan semerbak seakan bertaburan di mana-mana. Penampilanku yang asalasalan mulai dipermak sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, lebih bersih karena “sering mandi” dan “berkaca diri” di depan cermin. Setiap kali dia pulang, aku pun ingin ikut pulang mengantar. Terkadang, dengan beribu alasan, aku ikut naik angkot dengannya walau jurusan kita pulang berbeda arah (saat itu orang yang punya motor masih bisa dihitung dengan jari, lho).


Yah, dia menjadi segala-galanya. Semua energi seakan tersita olehnya. Senang-susah, bahagia-menderita, ada di tangannya. Benar apa yang disenandungkan Maulana Jalaluddin Rumi:


Lewat cintalah semua yang pahit akan jadi manis.Lewat cintalah semua tembaga akan jadi emas.
Lewat cintalah semua endapan menjadi anggur murni.
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat.
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup.
Lewat cintalah raja jadi budak.

Aku, yang biasanya acuh, mendadak jadi seorang pencemburu. Aku jadi nggak enak hati apabila ada lelaki lain yang dekat dengannya atau sekadar menanyakan dia walau sebenarnya untuk urusan kantor. Akan kucari informasi tentang lelaki itu untuk memastikan apakah dia mencintai bidadariku ini ataukah tidak.


Aneh ... bagi orang yang tidak merasakan cinta, semua itu menjadi aneh, lucu, menggelikan, bodoh, dan ... kekanak-kanakan. Namun, tidak bagiku. Kata-kata Cleopatra tampaknya begitu pas menggambarkanku, “Cinta tidak menjadikan Bumi ini beredar, tetapi dengan cintalah peredaran Bumi menjadi amat bermakna.” Apa yang dilakukan oleh orang yang tengah dimabuk cinta terkadang dipandang konyol oleh orang di luar dirinya.


Entah, apakah dia menyadari atau tidak perasaan hati ini kepadanya. Aku takpernah mengatakannya. Tidak seorang pun di antara teman-temanku yang tahu gelora cintaku kepadanya. Hanya ada seorang teman dekat, tempat aku curhat dan berbagi yang tahu keadaanku ini. Dia pula yang selalu membantuku. Mungkin, si Dia tahu bahwa aku mencintainya dari perhatian dan kebaikanku kepadanya yang terkesan lebih. Memang, dengan siapa pun aku selalu berusaha menjaga sikap, perasaan, dan berlaku baik sehingga aku diterima banyak orang. Namun, dengannya terasa beda, kebaikanku berlipat-lipat.


Semakin intens pertemuan dengannya, semakin kuat pula perasaan ini kepadanya. Namun, aku tidak berani mengungkapkannya. Lidah ini begitu fasih membicarakan banyak hal. Namun ... lidah ini mendadak kelu saat harus menyatakan cinta ini kepadanya. Lisanku kembali fasih saat berdoa kepada Tuhanku. Ya, alhamdulillah, aku banyak sekali curhat kepada-Nya, mengadukan gelora jiwa ini kepada-Nya.


Gumamku dalam sela-sela ibadah shalatku, “Ya Allah, Engkau Mahatahu perasaanku. Aku mencintainya ya Allah ... jadi kanlah dia pendamping hidupku, ibu dari anak-anakku. Lapangkanlah dan mudahkanlah jalan bagiku untuk bersanding dengannya. Andai masih ada ruang kosong di dalam hatinya, perkenankan agar engkau mengisi hatinya dengan namaku. Jangan biarkan aku menderita. Ya Allah, aku sangat mencintai dan mengasihinya. Rabbana hablana min azwazina wa durriyatina qurrata a’yun waj ’alna lil muttaqina imama.


Begitulah, dia menjadi sentral dalam doa dan munajatku, mengalahkan doaku untuk ibu, bapak, guru-guruku, dan orang-orang yang telah berjasa kepadaku. Bagaimana dengannya? Aku taktahu pasti. Namun, dari gerak-geriknya, dia seakan memberiku harapan. Entah memang karena sifatnya seperti itu atau sekadar menghargaiku sebagai seorang teman. Aku tidak tahu. Kalau aku memberikan sesuatu sebagai hadiah dariku untuknya, dia pun menerima dengan senyum manis. Kalau ngobrol, dia pun merespons dengan baik. Terkadang, dia pun mau pulang bersamaku. It’s no problem baginya. Malah, ada sesuatu yang amat berkesan. Ia pernah memberikan cokelat untukku sebagai hadiah kelulusanku. Cokelat ... bukankah itu tanda cinta? Duh, itu dia yang aku cari.


Tibalah suatu hari, ketika itu langit seakan hendak runtuh. Dada terasa sesak, bukan karena penyakit asma, tetapi karena sumbatan emosi kesedihan dan keterkejutan. Dia memutuskan keluar dari pekerjaan. Alasannya sederhana, ingin melanjutkan studi. Si Bunga Hati mengatakan itu pada penutupan kegiatan kantor di luar kota. Saya dan teman-teman mengucapkan selamat dan kata-kata perpisahan kepadanya dengan senyuman. Namun, berbeda dengan yang lain, senyuman di mulutku bertolak belakang dengan gambaran hatiku yang terasa sumpek.


Terbayang di benakku pertemuan yang intens di kantor akan segera berakhir. Padahal, bagi seorang pencinta, bertemu dengan yang dicintai adalah segalanya. Namun, ada sisi baiknya. Aku pun bertekad untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada dia. Lagi-lagi, aku taksanggup berbicara langsung. Lagi-lagi, lisanku kelu. Maka, kubelikan sejumlah buku kesukaannya. Kubungkus dengan menjadi sebentuk kado yang indah. Kuselipkan surat cinta di dalamnya. Lalu, kukirimkan ke alamatnya melalui kantor pos dekat rumahku.


Dua hari kemudian ... tepatnya pukul dua siang lebih lima belas menit, ponselku menyala, tertulis sebuah kiriman pesan singkat di dalamnya ... hatiku berdebar kencang saat tertulis namanya di sana. Kubuka dengan tangan bergetar. Rasaku saat itu, inilah momentum terpenting dalam hidupku, apakah si Bunga Hati akan benar-benar menjadi milikku atau ... aku taksanggup menyebutkannya.


“Terima kasih atas hadiahnya, kebaikannya .... Namun, jujur saja aku terkejut ketika kubaca surat kirimanmu itu. Aku takbisa berkata apa-apa selain sebuah doa semoga Allah memberimu kesuksesan dalam karier, dilancarkan segalanya. Kita tetap berteman saja yah ... salam.”


Semangatku seakan hilang ditelan Bumi. Semuanya tampak runyam, kusam, dan takpunya arti. Manis terasa pahit. Putih terlihat hitam. Gelap ... semuanya menjadi gelap. Kusam. Sebuah SMS dengan beberapa ratus karakter cukup untuk memukulku KO. Entah karena saking cintanya, aku terkena stres stadium III, sedikit lagi (stadium IV) aku terkena depresi. Nafsu makan hilang, semangat kerja down, pikiran takmenentu. Selama beberapa minggu berat badanku turun karena tidak lagi memiliki nafsu makan. Kualitas kerjaku turun drastis hingga harus mendapat teguran dari atasan. Kalau bukan karena orang tua, mungkin aku sudah keluar dari pekerjaan ... atau melakukan yang lebih dari itu!


Hatiku semakin terpukul saat beberapa SMS-ku tidak direspons olehnya. Dia pun seakan menghindar dariku saat berkunjung ke kantor untuk suatu pertemuan. Aku pun jadi malu sendiri ... walau hati tetap rindu. Aku tahu, bahwa dalam dunia percintaan, ungkapan “cinta itu takharus memiliki” sudah takberlaku lagi.


“Cinta itu akan terasa indah apabila memiliki. Kalau tidak memiliki, ya jangan dicintai,” begitu ungkap seorang teman. Namun, sebagai pelarian dari kegagalanku mendapatkan cintanya, jargon bahwa cinta takharus memiliki tetap kupegang erat dan kusimpan rapat-rapat di dalam hati (kalau sudah dimabuk cinta, biasanya rasionalitas dan kewarasan berpikir akan terpinggirkan).


Bertahun-tahun lamanya, harapan hatiku tetap tertuju kepadanya. Walau aku tahu, cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku tidak berpikir untuk menikah dengan wanita lain selain dengannya. Harapanku masih tetap menyala saat mengetahui kalau dia belum memiliki hubungan apa pun dengan laki-laki lain. Selama itu pula, aku senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dia menjadi milikku.


Mungkin Allah Swt. berkehendak lain. Dia tidak mengabulkan doaku itu. Aku taktahu apakah aku terkena penyakit jiwa atau tidak. Yang jelas, rasa cintaku mulai bergeser menjadi sebuah kebencian. Lahir sebuah dualisme di dalam hati: cinta bercampur benci. Aku takbisa memungkiri bahwa aku sangat mencintainya. Namun, aku pun putus asa dari mendapatkan cintanya. Terbetik dalam hatiku untuk membalas dendam kepadanya. “Akan kubuat kau menyesali keputusanmu itu!” Aku pun terpacu untuk berkarya, berprestasi, dan membuat matamu melihat siapa aku. Dalam pengakuannya, tokoh kita ini telah menjadikan doa sebagai salah satu andalan baginya untuk mendapatkan cinta wanita idamannya. Berhasilkah? Secara lahiriah, doa-doa yang dia panjatkan seakan tidak menghasilkan apa-apa. Jangankan menerima, wanita yang diidamkannya malah semakin menjauh darinya. Ada semacam keseganan, kekakuan, dan ketakutan apabila harus kontak dengan si Lelaki. Namun, jangan salah, Allah Swt. punya rencana lain. Karena boleh jadi, menurut ilmu-Nya, si Wanita bukanlah jodoh terbaik bagi si Lelaki dan dia belum menyadarinya. Lalu, apa efek terbesar yang dirasakan si Lelaki dari doa-doa yang dipanjatkannya itu? HAKIKAT KEIKHLASAN. Orang boleh saja menganggap aku konyol, lelaki lemah, takpandai memilih, kayak nggak ada wanita lain aja selain dia, tapi mereka tidak merasakan bagaimana indahnya cinta dan dukanya ketika cinta itu takberbalas. Efeknya terus terasa hingga bertahun-tahun lamanya hingga memengaruhi banyak aspek kehidupanku.


Alhamdulillah, Allah Swt. masih sayang kepada diriku. Walau Dia tidak mengabulkan doaku persis sama sebagaimana aku minta, Dia menunjukkan sesuatu yang lebih berharga dari pada seorang wanita. Suatu kali, seorang teman bertanya kepadaku tentang makna hadits, “Barang siapa menikahi wanita karena memandang kedudukannya, Allah akan menambah baginya kerendahan."


“Barang siapa menikahi wanita karena harta bendanya, Allah akan menambah baginya kemelaratan. Barang siapa menikahi wanita karena keturunannya, Allah akan menambah baginya ke-hina-an. Akan tetapi, barang siapa menikahi seorang wanita karena ingin meredam gejolak nafsu dan menjaga kesucian dirinya atau ingin merekatkan ikatan kekeluargaan, Allah akan memberkahinya bagi istrinya dan memberkahi istrinya bagi dirinya.” (HR Al Bukhari)


Hadits Rasulullah ini benar-benar menghunjam ke dalam jiwaku. Memang, sebelumnya aku sudah pernah membaca hadits ini, tetapi kali ini efeknya benar-benar berbeda, terlebih setelah aku renungkan dalam-dalam. Aku terhenyak. Aku baru tersadar, selama ini aku mencintai dia dengan mengorbankan banyak hal: diri sendiri, orang tua, perusahaan tempatku bekerja, dan tentu saja Tuhanku. Tanpa sadar, aku telah menuhankan makhluk dengan merusak banyak hal. Aku kecewa berat karena aku mencintai seseorang bukan karena Allah. Aku meradang karena aku memberi bukan karena mengharap ridha Allah, melainkan mengharap ridha manusia. Aku bekerja keras untuk meraih prestasi, menuntut ilmu, bukan untuk kemuliaan agama Allah, tetapi untuk membalas dendam dan mengharapkan penilaian manusia.


Begitulah, ketika seseorang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan, kekecewaan akan sangat dekat dengannya. Seakan-akan, Rasulullah saw. berkata, “Jika engkau mencintai seseorang bukan karena Allah, niscaya engkau akan dihinakan dengan cinta itu. Jika engkau mencintai seseorang hanya karena kecantikan dan kepintarannya, tunggulah kalau kecantikan dan kepintarannya itu akan menghinakanmu.”


Inilah bentuk ijabahnya doa dari Allah. Dia memberikan sesuatu yang sangat berharga: HAKIKAT KEIKHLASAN; yaitu bangkitnya kesadaran bahwa dalam melaksanakan segala sesuatu, keikhlasan harus menjadi landasannya. Tanpa keikhlasan, semua tidak akan berarti di sisi Allah.


Aku pun mulai memperbaiki niat, mengubah doa, dan mencoba mencari perspektif lain yang lebih menguntungkan dunia dan akhirat, “Ya Allah, jadikanlah Engkau sebagai pusat kehidupanku. Jika aku mencintai seseorang, jadikanlah cintaku itu sebagai jalan bagiku untuk semakin dekat dengan-Mu. Jangan biarkan aku terlena dengan manusia dengan melupakan-Mu. Ya Allah, Engkau Mahatahu siapa pendamping terbaikku. Pertemukanlah aku dengan cara terbaik, nikahkan aku dengan cara terbaik, dan himpunlah aku dalam rumah tangga terbaik sebagaimana dicontohkan oleh manusia-manusia terbaik pilihan-Mu. Ya Allah, muliakanlah dia dengan kesalehan. Pertemukanlah dia dengan pendamping yang akan membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hilangkanlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya dan gantilah dengan rasa cinta kepada-Mu.” Itulah sebagian dari doa-doaku.


Alhamdulillah, dengan mengambil perspektif baru berlandaskan keikhlasan, hati ini menjadi lebih lapang. Kini, aku menganggapnya sebagai teman biasa. Tidak ada lagi benci bercampur rindu. Yang ada hanyalah “rasa sayang” kepada seorang teman. Begitulah, teramat mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati manusia. Awalnya cinta jadi benci setengah mati. Awalnya rindu jadi dendam kesumat. Sebaliknya, mudah pula bagi Allah untuk menjadikan benci menjadi cinta dan rindu menjadi dendam. Namun, di sana ada pilihan kita: mau yang mana? Maka, mintalah yang terbaik dari-Nya: sesuatu yang membahagiakan, yang melapangkan hati, dan membawa kebaikan bagi diri dan orang lain.


Orang berubah jika sudah cukup tahu.
Orang berubah jika sudah cukup mau.
Orang berubah jika sudah cukup menderita.

Rasa cinta dan benci lahir karena penghayatan yang intens. Namun, keduanya bukanlah dua jenis emosi berlawanan. Cinta dan benci adalah emosi yang berjalan bersama (Rollo May, 1969). Keberadaan keduanya bisa dianalogikan dua sisi mata uang. Garis pemisah antara keduanya merupakan garis yang manis. Artinya, perasaan cinta sering diawali perasaan benci atau sebaliknya. Walaupun demikian, begitu rasa benci—sebagai emosi negatif—ditahan dan ditekan, tanpa disadari rasa cinta—sebagai emosi positif—yang hanya dipisahkan garis pemisah yang manis pun ikut tertekan. Jadi, kematian rasa benci, secara otomatis akan diikuti kematian rasa cinta. Begitulah proses penghayatan emosi yang dirasakan.


TAHUKAH ANDA?


Para ilmuwan neurosains baru saja mengungkapkan sebuah gejala fisiologis yang unik pada saat seseorang mengalami tekanan batin yang berat. Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh masalah-masalah yang terkait dengan proses interaksi dan komunikasi sosial, termasuk persoalan hubungan cinta antara dua orang yang tengah dimabuk asmara.


Ehm! Hasil pengamatan di beberapa negara ditemui sindrom “putus cinta” ini sering sekali menimbulkan gangguan yang menyerupai gejala serangan jantung, infark miokardium akut. Timbul serangan rasa nyeri di daerah dada yang menjalar ke punggung, lambung, dan daerah lengan sebelah kiri. Dapat pula diikuti dengan kesulitan bernapas (sesak), keluarnya keringat dingin, dan tubuh terasa lemas. Sindroma ini dikenal sebagai Sindroma Takotsubo atau Miokardiopati Takotsubo.


Dr. Ilan Wittstein, MD, ahli jantung dari The John Hopkins University Medical School dan rekan-rekannya menemukan kasus Takotsubo terjadi akibat adanya akumulasi neuropeptida otak yang merupakan keturunan katekolamin. Turunan katekolamin yang kerap dijumpai serta memiliki efek simpatik secara sistemik antara lain adalah epinefrin dan norepinefrin. Namun, dalam kasus Takotsubo, ternyata tidak hanya epinefrin dan norepinefrin saja yang kadarnya melonjak drastis, tetapi juga molekulmolekul peptida kecil dan neurotransmiter, seperti metaneprin, normetaneprin, neuropeptida Y, dan peptida natriuretik turut melonjak secara drastis.


Akumulasi produksi faktor kimiawi yang terjadi pada saat amigdala di otak menerima data yang “menyakitkan” serta “gagal” mengatur emosi negatif akan menyebabkan efek fibrilasi (jantung bergetar tidak beraturan) sesaat yang diikuti dengan “pingsan”-nya sejumlah sel otot jantung. Jadi, putus cinta, ditolak, ataupun patah hati bisa membuat jantung “kelenger” alias “semaput”!


Apakah sindroma ini berbahaya? Bergantung pada seberapa luasnya daerah otot jantung yang “semaput”. Jika daerah yang mengalami kardiomiopati sesaat itu cukup luas, akibatnya bisa saja menjadi fatal. Mengingat fungsi utama jantung adalah menyuplai kebutuhan oksigen untuk seluruh sistem tubuh, termasuk otak. Jadi, keadaan jantung “mogok” bekerja ini dapat menimbulkan hipoksia (kekurangan oksigen) di jaringan. Jika kekurangan oksigen berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, jaringan yang sangat bergantung pada asupan oksigen akan terganggu, bahkan rusak permanen.


Akan tetapi, catatan klinis Dr. Ilan Wittstein dan rekan-rekannya yang telah dipublikasikan di New England Journal of Medicine (2009) menunjukkan bahwa kasus-kasus kardiomiopati akibat kejutan psikologis ini biasanya bersifat reversible alias dapat pulih kembali. Kondisi jantung pun pada umumnya baik dan tidak disertai dengan kerusakan yang bersifat kronis. Siapa saja yang mungkin mengalami Sindroma Takotsubo? Orang-orang yang memiliki tingkat stres harian sudah sangat tinggi, orang-orang yang kinerja otaknya lebih didominasi oleh sirkuit amigdala (penuh tantangan dengan stres tinggi), dan orang yang memiliki tipologi kepribadian yang rentan terhadap stres. Maka, syukurilah peristiwa “patah hati”, cari hikmahnya dan jangan terlalu disesali sebab “patah hati” pasti adalah karunia Allah yang belum kita sadari maknanya. Jika disesali, “ancaman” Allah dalam Surat Ibrahim, 14: 7 akan berlaku: nikmat, jika disesali akan berubah menjadi azab. Nah, salah satu perwujudan azab itu mungkin sindroma “jantung klenger” yang dinamai Takotsubo


(Cuplikan kisah di buku “114 Kisah Nyata Doa-doa Terkabul”)

~** cinta PENGEMIS,.... dan istri yang CANTIK **~



Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri duduk makan. Diruang tamu, datang seorang pengemis berpakaian lusuh meminta belas kasihan mereka. ''Tolonglah Encik ,saya lapar ,sejak semalam tidak menjamah sesuap nasi.''Dengan muka bengis,si suami sambil menjeling isteri yang cantik terus menghalau dan menengking si pengemis itu . Dalam hatinya berkata ''Aku membina perniagaan hingga berjaya bukan untuk orang lain,tapi untuk diri dan keluargaku.'' Si isteri tidak dapat berbuat apa-apa dengan sikap suaminya walaupun dalam hatinya ada niat untuk bersedekah.

Beberapa tahun kemudian, perniagaan si suami jatuh muflis dan dia menjadi miskin. Dia terus menceraikan isterinya kerana tidak mahu isterinya turut menderita sepertinya. Setahun kemudian, isterinya yang masih cantik itu berkahwin pula dengan lelaki lain. Pada suatu hari, sedang si isteri dan suami barunya mengadap makanan, tiba-tiba seorang pengemis mengetuk pintu sambil meminta belas kasihan. Mendengar rayuan pengemis itu, si suami menyuruh isterinya menghidangkan sepinggan nasi berlaukkan seperti yang mereka makan. Setelah memberi sepinggan nasi kepada pengemis, si isteri menangkup muka sambil menangis.

Si isteri mengadu, si pengemis itu sebenarnya adalah bekas suaminya yang dulu pernah menengking seorang pengemis . Suami yang baru itu menjawab dengan tenang : ''Demi ALLAH ,akulah pengemis yang dihalau dan ditengking itu .

RASULULLAH sholallohu alaihi wa sallam Bersabda: ''Sedekah itu dapat menutup 70ribu kejahatan''.

Anas Malik pula meriwayatkan bahawa NABI MUHAMMAD sholallohu alaihi wa sallam ada bersabda yang bermaksud ; ''Barang siapa mempunyai harta, maka bersedekahlah dia dengan kekayaanmu. Barang siapa yang mempunyai ilmu, maka sedekahlah dengan ilmunya dan barang siapa yang mempunyai tenaga bersedekahlah dengan tenaganya''.

p/s: CERITA INI MEMBERI PENGAJARAN BAHAWA HIDUP KITA SEPERTI PUTARAN RODA DAN TIDAK SELALUNYA DI ATAS .ADA MASA DAN KETIKANYA KITA AKAN TURUN DAN KE BAWAH DAN NAIK SEMULA ATAU SEBALIKNYA .





~** lafazd yang TERSIMPAN ,....**~


Luluh hatiku yang sayu
Menatap wajahmu tenang dalam lena
Kasih zahirkan laku
Sedangkan bibirku jauh dari lafaznya


Dan raut tuamu membekas jiwaku
Meredakan rindu mendamaikan kalbu
Tak mungkin kutemu iras sentuhanmu
Biarpun kuredah seluruh dunia
Mencari gantimu


Betapa sukarnya menyusun bicara
Meluahkan rasa menuturkan sayang
Kasih yang terlimpah hanya sekadar
tingkah
Cuma ungkapan kebisuan yang
melindungkan kalimah rahsia



Masih kubiarkan waktu
Melarikan lafaz kasihku padamu


Mengapakah sukar menyusun bicara
Meluahkan rasa menuturkan sayang
Kasih yang terlimpah hanyalah sekadar
tingkah
Cumalah ungkapan bisu kalimah rahsia


Apakah yang hilang andai dilisankan
Bait penghargaan penuh kejujuran
Tak mungkin terlihat cinta yang merona
Jika hanya renungan mata yang bersuara
Bukan tutur kata


Tiada lagi ertinya pengucapan
Andai akhir nafas di hujung helaan
Sebelum mata rapat terpejam
Usah biar kehilangan
Menggantikan lafaz yang tersimpan

***********
Mujahid mengeluh. Lagu nyanyian kumpulan nasyid UNIC itu benar-benar menyentuh perasaannya. Kitab Fiqh Munakahat yang sedang ditelaahnya itu diletak perlahan di atas meja lalu dia bangkit dan berbaring di atas tilamnya. Hasratnya ingin memejamkan mata sementara menunggu azan Zuhur. Hakikatnya dia ingin menenangkan hatinya yang sedang berkocak itu.

Namun, lagu ' Lafaz Yang Tersimpan' itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Mata yang dipejam dibuka perlahan. Terbayang wajah seorang Muslimah di matanya. Muslimah yang telah mencuri hatinya tanpa dia sedari. Muslimah yang telah mengetuk pintu hatinya yang selama ini tertutup rapat buat insan bernama wanita.

Nur Asiyah Maisarah. Nama yang sangat indah. Seindah peribadi dan akhlaknya. Seorang gadis ceria yang bertudung labuh di universiti mereka. Dalam diam Mujahid menyimpan perasaan pada Asiyah. Bukan dia sengaja membiarkan hatinya tertarik pada wanita. Namun, perasaan itu hadir secara tiba-tiba. Tanpa dia sedari. Padahal, dia langsung tidak mengenali gadis itu. Berbicara jauh sekali. Hanya pernah mendengar suaranya di kuliah ketika membuat pembentangan.

Mujahid segera beristighfar. Dia tidak mahu syaitan mengambil kesempatan atas kelalaiannya itu. Dia masih punya pegangan agama. Jika tidak, sudah pasti dia akan mencari jalan untuk mendampingi gadis idamannya itu.

Suara hatinya itu hanya sahabat baiknya sahaja yang mengetahui. Saifullah. Itulah sahabat di saat suka dan dukanya selama ini. Mereka sentiasa saling ingat mengingati. Saling tegur menegur andai berlaku kekhilafan. Dia bersyukur punya sahabat seperti Saifullah yang sentiasa mengajaknya ke arah kebaikan.

Saifullah jugalah yang menasihatkannya supaya menyampaikan perasaannya itu pada Asiyah melalui perantaraan dirinya. Tujuannya untuk mengetahui samada Asiyah sudah punya calon suami atau belum. Jika belum, Mujahid mempunyai peluang untuk meminangnya.

Tetapi, Mujahid enggan. Dia merasakan dirinya belum bersedia. Masih banyak perkara yang harus difikirkan. Dia masih belajar. Masih punya keluarga yang harus dijaga. Kehendak hatinya itu harus diketepikan terlebih dahulu.

Namun, sebagai manusia biasa yang dikurniakan nafsu. Kekadang keinginan untuk mencintai dan dicintai itu hadir juga. Setiap kali matanya menangkap kelibat Asiyah, hatinya bergetar. Segera dilarikan pandangannya. Bukan dia meminta. Dia juga tidak mahu. Tetapi, itulah fitrah. Fitrah seorang manusia.

Mujahid meraup wajahnya. Dia bangkit lalu mencapai kopiahnya dan kunci motor yang tersangkut di dinding. Kakinya melangkah keluar menuju ke arah motosikalnya.

' Biarlah aku mengadu pada ALLAH. DIAlah sebaik-baik tempat mengadu saat hati keliru'

**********
Hatiku bergetar mendengar alunan suara seorang pemuda mengalunkan azan. Menusuk kalbu. Sebak ku rasakan.

" Asiyah, jom masuk. Termenung apa lagi?"

Aku tersentak mendengar suara sahabatku, Mardiyah menegurku. Aku tersenyum. Aku baru tersedar aku sedang berdiri tegak sendirian di tengah halaman sebuah surau kecil di kawasan perumahan kami.

Kakiku segera melangkah masuk ke dalam surau. Kelihatan sudah ada beberapa orang jemaah lelaki di dalamnya. Mataku menatap pada si pemuda yang baru selesai mengalunkan azan itu. Teringin aku melihat wajahnya. Suaranya lunak menggetar jiwa.

' Ah, Mujahid?'

Aku terkedu saat pemuda itu berpaling untuk turut berada bersama jemaah lain. Itu Mujahid. Dialah yang selama ini ku harapkan menjadi pendamping hidupku. Dialah yang selama ini ku dambakan sebagai kekasih hatiku.

' ALLAH~ Dugaan apakah ini YA ALLAH? Mengapa KAU hadirkan dia dihadapanku di saat aku sedang keliru? Mengapa KAU hadirkan dia dimataku di saat aku tidak ingin melihat lagi wajah itu??'

Aku segera menyelak tabir yang memisahkan di antara bahagian muslimin dan muslimat. Segera aku mengambil tempat di sebelah Mardiyah. Dia sudah siap megambil wudhu'.

" Kau pergi mana? Lama aku tunggu kat dalam ni"

Aku hanya tersenyum. Gelojak dihatiku masih belum reda.

Segera aku bangkit semula dan melangkah menuju ke tempat wudhu'. Aku ingin menenangkan hatiku dengan air wudhu'. Aku ingin menghilangkan gelojak jiwaku dengan pertemuan bersamaNYA.

**********
Monolog Mujahid Al-Hak dan Nur Asiyah Maisarah..

' YA ALLAH..biarlah aku simpan perasaan ini. Seandainya dia adalah jodohku. Satukan kami di jalanMU. Seandainya dia bukan milikku, kikislah perasaan ini. Aku redha dengan segala ketentuanMU. Berilah aku petunjukMU..'